Nggak seperti yang kubayangkan, tragedi pengkianatan leluhurku hanya sebatas cerita tukang sayur yang sedang ngerumpi dengan kaum ibu..(baca juga menangislah selagi masih mampu) Ternyata…….. Tindakan dan pengaruh pengkianatan ini, benar benar terjadi dan aku rasakan sendiri. Seperti postinganku kemarin, ternyata dialami juga oleh mang Jujuk yang tinggal diperkebunan karet. Untungnya….. mang jujuk tinggal di kebon, jadi nggak payah mencari bahan bakar (kayu bakar) untuk “ngasapin” dapur konvensionalnya.
Tapi justru mang jujuk seperti orang yang kehilangan kemerdekaan. Gimana enggak! Kebon mang Jujuk berjarak 15 Km dari tempat tinggalnya di kampung. Sementara mang jujuk seperti makan buah simalakama. Lantaran Mang Jujuk harus memilih tinggal di kebon, dengan mendapatkan penghasilan dari menyadap getah karet. Ataukah mang Jujuk tinggal dikampung sebagai makluk social, berkumpul dengan keluarganya tapi tanpa penghasilan sama sekali.
Logikanya: Jarak tempuh mang Jujuk untuk mengais rezeki dikebon adalah 15 Km. minimal dibutuhkan 2 liter bensin setiap hari. “kalo ada yang dibeli nggak pa-pa om, tapi sekarang saya susah nian nyari minyak (bensin), gimana saya mau kerja?” ungkapnya dengan sedikit kecut. “lha wong beli minyak (bensin) di POM (SPBU) pake gallon (jerigen) nggak boleh, kalo ketahuan malah didenda, lha terus gimana saya mau ke kebon Om….?” Lanjutnya lirih.
Oh! alangkah sakitnya jika kemerdekaan seseorang terenggut dari dirinya. Gimana enggak, dikampung mang Jujuk yang berjarak 34 Km dari pusat kota kabupaten. 24 Km dari kota kecamatan. Jarak masing-masing desa (wilayah transmigrasi) rata-rata berjarak 6 s/d 7 Km. Mang Ujuk sebagai warga Negara yang sudah merdeka lebih dari setengah abad, kini kemerdekaannya terenggut lantaran kelangkaan BBM.
Kebijakan apa lagi yang akan diambil untuk memberantas kemiskinan…….?
Ungkapan sederhana yang ada diotak gebleg saya : “Bunuh aja orang miskin….. kan selesai”. Apakah kebijakan ini benar-benar akan dilakuakan? Pemerintah yang harusnya pelanjut amanah pahlawan kemerdekaan akan membunuh rakyatnya dengan perlahan dengan tujuan memberantas kemiskinan? Apakah kebijakan ini benar-benar diterapkan untuk meningkatkan taraf hidup sebagian orang (di kota besar); sementara ratusan, ribuan, jutaan orang di pedalaman harus kembali menderita karena kemerdekaan mereka digadaikan oleh para pengambil kebijakan tanah leluhurku ini?
Entah lah…. Aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Rasanya otakku nggak bisa berfikir lagi. Yang ada diotakku sekarang; apapun akan digadai untuk nutupin utang. Utanga luar negri kita ini harus dibayar untuk mendapat kepercayaan internasional. Solusi termudah Gadaikan saja kemerdekaan rakyat. Anda sependapat? Harapan saya, anda berbeda pendapat dengan saya. Adakah diantara anda yang punya solusi dari masalah ini?
[22.28
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar