Anda merasa jaman sekarang penuh dengan tantangan hidup?
Anda merasa tertantang untuk menghidupi diri dan keluarga anda?
Anda merasa tantangan hidup yang anda hadapi terlalu berat untuk anda?
Sejak kapan anda rasakan itu? Sejak lahir, sejak usia 25 tahun, ataukah sejak harga kebutuhan sehari-hari bergoyang bak goyang inul?
Serentetan pertanyaan dari (sebutlah) mang "Jujuk" yang selalu terngiang ditelingaku adalah : "Apa sih penyebab harga barang - barang kok kayak gelombang laut, nggak pasti, angin anginan, nggak stabil, stok barang nggak terjamin, salah siapa sih?"
Anda tahu Jawaban dari mang "Jujuk" tersebut?
Harapan saya, salah satu dari anda dapat memberikan jawabannya.
Waktu saya di tanya mang "Jujuk" seperti itu, ya.... saya jawab: Mang.... Sekarang ini jaman demokrasi mang. Siapapun boleh nentukan harga jual sesuatu. Toh namanya jual beli itu kan suka sama suka, mau sama mau. Ya... kalo mang "jujuk" mau membeli kebutuhan mang "Jujuk" dengan harga segitu (mahal) ya dibelilah. Tapi kalo mang "Jujuk" merasa nggak mampu membeli ya.... nggak usah dibeli.
Lha terus keluarga saya gimana? Apa iya anak istri saya harus saya kasih makan rumput,mas? nggak mungkin kan? Tukas mang "Jujuk" dengan nada agak kesal.
Jawab saya: Kan sekarang ini jaman merdeka mang, yang namanya merdeka itu sejahtera mang..... Kan kesejahteraan mang "jujuk" udah di pikir sama yang ngatur negara ini mang.Dipikir memang dipikir, tapi kalo nggak ada kenyataanya giman coba. Apa cukup perut lapar di pikir saja? Jawab mang "Jujuk" makin kesel.
Jawab saya waktu itu: mang "Jujuk" kan dapet BLT (Bantuan Langsung Tunai) kan? itu kan bukti pengatur negar ini mensejahterakan keluarga mang "jujuk"?
Belum selesai saya nyampein jawaban, saya tersentak oleh perubahan wajah mang "Jujuk" yang berubah garang, penuh amarah.
"Justru menutupi lonjakan harga kebutuhan sehari-hari dengan imbalan BLT yang hanya cukup untuk beli lima kaleng susu anak saya... Sampeyan bilang itu langkah mensejahterakan orang miskin (seperti saya)? Coba pikir mas! berapa persen nominal BLT itu di bandingkan lonjakan harga. Cobalah nggak usah ngiming-ngiming ngasih BLT! Tapi tetapkan dan stabilkan harga kebutuhan sehari-hari. Itu sudah lebih dari menghidupi orang miskin (seperti saya) mas. Nggak usah munafik lah. Berapa dana yang sampe ke orang miskin, Berapa duit yang diterima orang miskin, sebanding nggak dengan kenaikan harga. Coba sampean pikir mas...... harga minyak (bensin) yang selangit, apa nggak bakal bikin orang seperti saya ini makin menjerit mas! Dulu-dulu nggak seperti ini mas! sekarang ini saya merasa benar benar dikianati mas. Mbah buyut saya dulu juga ikut berjuang demi negri ini mas. Coba lah pikir mas!"
Apa yang ada dibenak anda jika ungkapan itu ditujukan kepada anda. Apa solusi anda untuk mensejahterakan mang orang orang seperti mang "Jujuk"?
Terfikirkah oleh kita bahwa pembaharuan memang membutuhkan proses.
Proses butuh waktu. Dan waktu akan terus berjalan tanpa bisa dihentikan.
Akankah kita menghentikan proses pembelajaran publik?
Memang kalo kita nalar dengan akal sehat, rasanya akan lebih sehat jika memberikan kail dan umpan kepada para pemancing ikan, dari pada kita berikan 10 ekor ikan kepada pemancing.
Yang dirasakan mang "Jujuk" diatas adalah manefestasi hidup yang menghidupi.
Artinya, mang "Jujuk" lebih memilih "biarkan kami berusaha, tetapi pemerintah harus mengatur infrastrukturnya secara manusiawi".
Anda sependapat?
Harapan saya; Anda berbeda pendapat dengan saya.
Nggak seperti yang kubayangkan, tragedi pengkianatan leluhurku hanya sebatas cerita tukang sayur yang sedang ngerumpi dengan kaum ibu..(baca juga menangislah selagi masih mampu) Ternyata…….. Tindakan dan pengaruh pengkianatan ini, benar benar terjadi dan aku rasakan sendiri. Seperti postinganku kemarin, ternyata dialami juga oleh mang Jujuk yang tinggal diperkebunan karet. Untungnya….. mang jujuk tinggal di kebon, jadi nggak payah mencari bahan bakar (kayu bakar) untuk “ngasapin” dapur konvensionalnya.
Tapi justru mang jujuk seperti orang yang kehilangan kemerdekaan. Gimana enggak! Kebon mang Jujuk berjarak 15 Km dari tempat tinggalnya di kampung. Sementara mang jujuk seperti makan buah simalakama. Lantaran Mang Jujuk harus memilih tinggal di kebon, dengan mendapatkan penghasilan dari menyadap getah karet. Ataukah mang Jujuk tinggal dikampung sebagai makluk social, berkumpul dengan keluarganya tapi tanpa penghasilan sama sekali.
Logikanya: Jarak tempuh mang Jujuk untuk mengais rezeki dikebon adalah 15 Km. minimal dibutuhkan 2 liter bensin setiap hari. “kalo ada yang dibeli nggak pa-pa om, tapi sekarang saya susah nian nyari minyak (bensin), gimana saya mau kerja?” ungkapnya dengan sedikit kecut. “lha wong beli minyak (bensin) di POM (SPBU) pake gallon (jerigen) nggak boleh, kalo ketahuan malah didenda, lha terus gimana saya mau ke kebon Om….?” Lanjutnya lirih.
Oh! alangkah sakitnya jika kemerdekaan seseorang terenggut dari dirinya. Gimana enggak, dikampung mang Jujuk yang berjarak 34 Km dari pusat kota kabupaten. 24 Km dari kota kecamatan. Jarak masing-masing desa (wilayah transmigrasi) rata-rata berjarak 6 s/d 7 Km. Mang Ujuk sebagai warga Negara yang sudah merdeka lebih dari setengah abad, kini kemerdekaannya terenggut lantaran kelangkaan BBM.
Kebijakan apa lagi yang akan diambil untuk memberantas kemiskinan…….?
Ungkapan sederhana yang ada diotak gebleg saya : “Bunuh aja orang miskin….. kan selesai”. Apakah kebijakan ini benar-benar akan dilakuakan? Pemerintah yang harusnya pelanjut amanah pahlawan kemerdekaan akan membunuh rakyatnya dengan perlahan dengan tujuan memberantas kemiskinan? Apakah kebijakan ini benar-benar diterapkan untuk meningkatkan taraf hidup sebagian orang (di kota besar); sementara ratusan, ribuan, jutaan orang di pedalaman harus kembali menderita karena kemerdekaan mereka digadaikan oleh para pengambil kebijakan tanah leluhurku ini?
Entah lah…. Aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Rasanya otakku nggak bisa berfikir lagi. Yang ada diotakku sekarang; apapun akan digadai untuk nutupin utang. Utanga luar negri kita ini harus dibayar untuk mendapat kepercayaan internasional. Solusi termudah Gadaikan saja kemerdekaan rakyat. Anda sependapat? Harapan saya, anda berbeda pendapat dengan saya. Adakah diantara anda yang punya solusi dari masalah ini?
Ini adalah Postingan pertamaku di catatan ku ini (bertajuk Pengkianatan). Sebenernya, aku pingin nulis banyak hal. Tapi sayang, aku udah sangat capek dan ngantuk gara-gara motor bututku. Udah mirip barang rongsokan, bensin kosong pula. Ya… itulah akirnya meluncur ke SPBU terdekat gubuk reotku. E… sampe di situ, maksud hati biar besok bisa ikut deklarasi (makan gratis) calon bupati dan calon wakil bupati di tempat ku, nggak tahunya sampe SPBU malah nambah kesel gimana enggak; Antrian motor lebih dari 300-an motor. Yang ada di otak aku waktu itu, apa sih penyebab antrian minyak segini panjangnya? Apa sih kerjaan PERTAMINA? Yang tolol ini pemilik motor atau distributor bahan bakar (bensin)? Untuk itu, aku menuliskan ini di Http://aku-dikianati.blogspot.com , sebagai catatan sosial ekonomi dan budaya yang aku rasakan.
Malam ini perasaan capekku semakin bertambah setelah sampe dirumah. Ku setel TV-ku satu satunya yang udah mirip sarang kecoa. Ku putar cannel berita: 5 menit duduk didepan TV, rasa kantukku udah ketahan lagi. Aku bangkit untuk matiin TV. Saat jari tangan pegang tombol power TV, dari dalam TV terdengar berita terhitung mulai hari ini, pembelian BBM dibatasi. Kusus bensin untuk motor dibatasi 15 ribu rupiah per motor per hari. Aku duduk lagi untuk nyimak berita itu.
Otakku mulai mikir: gimana nasip iparku yang kesehariannya menggantungkan diri pda pekerjaan tukang ojek motor? Gimana juga nasib paman aku yang tinggal diwilayah transmigrasi yang belum ada arus PLN? Yang mengantungkan penerangan rumah dengan genset? Apa mungkin genset di isi air sungai??? Gimana nasib Tony kawanku si tukang sound system? Yang setiap manggung pasti bawa mesin diesel untuk mensuplai arus listrik ke perangkatnya??
Rasa capekku makin tambah lagi waktu istriku bilang minyak tanah habis. Dan di warung tante Nia udah nggak ada minyak tanah lagi. Ya ampunnn…… apa akalku agar anakku tetep bisa minum susu pake air hangat. Apa iya, aku pake celana rombengku untuk jadi bahan bakar di dapur??? Seberapa lama bisa bertahan??
Akirnya dengan langkah berat aku ke kebon mang Jarwo untuk minta kayu bakar. Itupun belum kering. Rasa capekku hilang saat kayu itu bias terbakar dan menghidupkan api di dapur konvensional-ku. Seberapa lama istriku tahan masak pake dapur konvensional?? Anakku yang baru 4 tahun pasti tersedak batuk kalo masuk ke ruangan dapur, gara-gara asap dapur yang kayak muntahan lava gunung merapi. Seberapa lama aku tahan melihat anakku seperti ini??? Terlebih lagi aku nggak punya kebon sendiri yang bisa diambil kayu-nya untuk bahan bakar.
Satu-satunya cara adalah beli kayu bakar. Itupun berjarak 3 sampe 4 kilometer dari gubuk reotku. Artinya ku harus keluar dan pake motor bututku. Artinya aku harus nyiapin ½ liter bensin untuk pergi/pulang beli kayu bakar.
Huh…. Rasanya ingin sekali aku menjerit.
Ingin sekali aku mekik “inikah Negara yang dibela nenek moyangku dengan tumpahan darah” Mereka mati untuk bela bangsa dan Negara ini, itupun ahli warisnya nggak minta dikasih imbalan. Tapi kok sekarang aku merasa seperti dikianati……..?Rasa ngantukku sudah nggak tertahan lagi. Entahlah… apakah besok aku masih bisa ngasih makan anak istriku entah tidak….. aku nggak tahu. Yang aku tahu, aku merasa dikianati titik.
Mungkin anda mengira ini cerpen atau novel atau apalah sebutannya. Aku nggak perduli dengan pandangan anda. Yang aku tahu…. Inilah yang aku alami hari ini. Harapanku ada salah satu dari anda memberikan solusi kepadaku dan juga kepada masyarakat.